أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“(Imam adalah) engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.”(HR. al-Bukhari, I/19 & 20 dan Muslim, I/37)
Makna iman kepada takdir
Makna iman kepada takdir ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa segala yang terjadi, baik dan buruk, itu adalah atas qadha dan qadar Allah. Seperti firman Allah, yang artinya, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Ayat tersebut di atas membuktikan bahwa segala yang terjadi pada alam semesta dan pada diri manusia, yang baik maupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan ditulis sebelum diciptakannya makhluk.
Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam:
Pertama, takdir umum (takdir azali) yang meliputi segala hal dalam lima puluh ribu tahun sebelum terciptanya langit dan bumi, ketika Allah menciptakan al-Qalam dan memerintahkannya menulis segala apa yang ada sampai hari Kiamat. Dalilnya, firman Allah surat Hud ayat 22 di atas dan sabda Rasulullah:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“’Allah telah menulis takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.’ Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.’” (HR. Muslim no. 6919)
Kedua, Takdir ‘umuri, yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya, ketika pembentukan air sperma sampai masa sesudah itu, dan bersifat umum mencakup rezeki, perbuatan, kebahagiaan dan kesengsaraan. Dalilnya, sabda Nabi:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعٍ بِرِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Sesungguhnya salah seorang dari kamu dikumpulkan di perut ibunya selama 40 hari, kemudian berbentuk ‘alaqoh (segumpal darah) seperti itu (lamanya), kemudian mudhghah (segumpal daging) seperti itu (lamanya). Kemudian Allah mengutus seorang malaikat diperintahkan (menulis) empat perkara; rezekinya, ajalnya, sengsara atau bahagia.” (HR. Bukhari no. 6594)
Ketiga, Takdir sanawi (tahunan), yaitu yang dicatat pada lailatul qadar setiap tahun, seperti firman-Nya, yang artinya:
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 4-5)
Para ahli tafsir menyebutkan, pada malam itu ditulislah semua apa yang bakal terjadi dalam satu tahun; mulai dari kebajikan, keburukan, rezeki, ajal dan lain-lain, untuk memilah kejadian dan peristiwa dalam satu tahun, yang kesemuanya itu telah dicatat sebelumnya dalam Lauhul Mahfuzh, juga apa yang ditetapkan dalam takdir ‘umari yang berkaitan khusus dengan individu.
Keempat, Takdir yaumi (harian), yaitu dikhususkan untuk semua peristiwa yang telah ditakdirkan dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rezeki, menghidupkan, mematikan dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah, yang artinya:
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 29)
Maksudnya, apa yang menjadi urusan-Nya menyangkut makhluk-Nya. Takdir ini dan kedua takdir sebelumnya (‘umari dan sanawi) merupakan penjabaran dari takdir azali.
Unsur-unsur Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir mengandung empat unsur:
- Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.
- Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di Lauhul Mahfuzh.
- Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada kecuali dengan kehendak Allah, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-Nya.
- Mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan gerakannya diciptakan oleh Allah.
Iman kepada Takdir tidak manafikkan kehendak dan kemampuan manusia yang sifatnya ikhtiari
Syara’ dan realita (kenyataan) menunjukkan ketetapan hal ini.
Secara syara’, Allah berfirman tentang kehendak manusia, yang artinya:
“Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An-Naba: 39)
Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyiah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah, seperti dalam firman-Nya, yang artinya:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)
Buah Iman kepada Takdir
Di antara buah yang baik dari keimanan kepada takdir, yaitu:
- Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.
- Agar seseorang tidak lagi mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari Allah yang dikarenakan takdir-Nya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan mengagumi dirinya akan dapat melupakan syukur nikmat ini.
- Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. Karena dia tahu bahwa hal itu ditentukan degan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.
Demikianlah bahasan singkat mengenai Iman kepada takdir. Dengan ini berakhirlah bahasan kita mengenai dasar-dasar iman. Semoga bermanfaat. Aamiin.
Referensi
- At-Tauhid Lishshaffi ats-Tsaniy al-‘Aliy, Tim Ahli Tauhid
- Syarah Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dll.