Kesempatan untuk membuka kembali sekolah di zona hijau tidak akan sepenuhnya dimanfaatkan. Satuan pendidikan justru mengaku tidak siap melaksanakan pembelajaran tatap muka langsung. Fakta itu terungkap dari survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tentang kesiapan sekolah menghadapi kenormalan baru.
Wakil Sekjen FSGI Satriwan Halim mengatakan, survei dilakukan untuk melihat respons dan kesiapan satuan pendidikan atas isu pembukaan sekolah. Dilaksanakan selama tiga hari, 6–8 Juni 2020, survei diikuti 1.656 responden dari 34 provinsi dan 245 kota/kabupaten. Responden terdiri atas para guru, kepala sekolah, dan manajemen sekolah (yayasan) dari berbagai jenjang pendidikan. Mulai PAUD/TK, SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/SMK/MA.
Mayoritas responden berada di zona hijau, yaitu sebanyak 710 orang atau 42,9 persen. Kemudian, 33,7 persen atau 558 orang berada di zona merah. Sisanya berada di zona kuning dan oranye.
”Tentu ini masih berkorelasi dengan kebijakan pemerintah soal pembukaan sekolah di zona hijau,” ujar Satriwan dalam temu media secara daring kemarin (16/6).
Hasilnya pun cukup mencengangkan. Mayoritas responden ternyata berkeberatan sekolah dibuka kembali. ”Sebanyak 55,1 persen mengatakan sekolah belum memenuhi kebutuhan pokok dalam menghadapi kenormalan baru,” ungkapnya. Artinya, sekolah belum siap untuk dibuka kembali dalam waktu dekat.
Ada banyak alasan yang mendasari hal itu. Dia membedah fakta-fakta tersebut melalui pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang disampaikan dalam survei. Salah satunya soal kendala paling berat dalam pembukaan kembali sekolah. Sebagian besar menjawab terkait pemenuhan sarana dan prasarana. Mereka tidak yakin bisa memenuhi segala kebutuhan tersebut dalam waktu satu bulan ke depan. Terlebih di tengah keterbatasan pada masa pandemi ini. Apalagi, anggaran untuk pemenuhan kebutuhan tersebut minim. Disusul soal teknis protokol kesehatan yang diterapkan hingga sosialisasi kepada orang tua siswa.
Masalah keberatan dari orang tua siswa tak bisa dianggap sepele. Memang, pemerintah sudah menginstruksikan ketika ada orang tua yang tak setuju anaknya belajar di sekolah, mereka tidak boleh dipaksa. Sekolah harus tetap menyediakan pembelajaran daring untuk mereka. Dengan kata lain, guru bakal bekerja keras untuk mengajar murid-muridnya. Hitunglah dalam sehari ada dua sif. Karena kehadiran siswa maksimal 50 persen di kelas, harus ditambah satu kali jam pelajaran untuk mengajar siswa yang daring.
”Padahal, masih ada sekolah yang jumlah gurunya terbatas. Pernyataan Mas Nadiem (Mendikbud Nadiem Makarim, Red) belum menyelesaikan tataran praktis di lapangan ketika ada orang tua yang nggak setuju anak ke sekolah,” katanya.
Menurut Satriwan, ada hal penting lain yang harus dipertimbangkan. Yakni, lokasi sekolah, rumah guru, dan rumah murid. Bagaimana bila guru dan murid berasal dari zona merah, tapi sekolahnya berada di zona hijau. ”Karena itu harus berkoordinasi dengan dinas perhubungan untuk memastikan ada angkutan khusus bagi mereka,” tutur guru mata pelajaran kewarganegaraan tersebut.
Melihat hal itu, pihaknya pun mempertanyakan kebijakan pembukaan sekolah tersebut. Meski terbatas hanya pada 6 persen dari total peserta didik, hal itu diyakini bakal menimbulkan sejumlah masalah baru dalam penerapannya.
”Kami justru mempertanyakan kenapa tidak diperkuat saja pendidikan jarak jauh (PJJ) untuk semuanya,” paparnya.
Dalam kesempatan terpisah, Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Bidang Regulasi Chatarina Girsang menegaskan kembali bahwa nanti sekolah di zona hijau tidak serta-merta bisa langsung dibuka. Pemda akan memastikan terlebih dahulu apakah satuan pendidikan tersebut sudah siap. Sekolah bakal mengisi daftar kesiapan yang kemudian dicek oleh pemda. Selain itu, yang paling penting adalah izin dari orang tua. ”Kalaupun semua terpenuhi, harus dilakukan evaluasi berkala. Kalau kondisi tidak aman, sekolah harus ditutup kembali,” tegasnya.
New Normal Pesantren
Beberapa pondok pesantren di Jawa Timur dan daerah lain telah menyusun protokol kesehatan untuk menerima kembalinya para santri. Bahkan, ada pesantren yang telah aktif kembali. Namun, Kementerian Agama (Kemenag) malah tak kunjung menyampaikan aturan new normal untuk lingkungan pesantren. Padahal, Kemendikbud sudah mengumumkan protokol untuk pendidikan umum Senin lalu (15/6).
Belum ada kejelasan alasan Kemenag tidak kunjung mengumumkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 di pesantren. Saat dikonfirmasi kemarin (16/6), Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi hanya memberikan penjelasan pendek. ’’Sudah siap (aturan protokolnya, Red),’’ katanya kemarin.
Dia menambahkan, Komisi VIII DPR yang membidangi urusan keagamaan mengajak rapat kerja dahulu dengan Kemenag. Rapat tersebut rencananya dijalankan Kamis (18/6). Fachrul meminta masyarakat menunggu selesai rapat Kemenag dengan DPR itu.
Plt Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Kamaruddin Amin menyatakan, protokol kesehatan untuk pesantren mungkin disampaikan Kamis (18/6) atau Jumat (19/6). Kamaruddin menuturkan, protokol kesehatan di lingkungan pesantren berbeda dengan pendidikan umum atau sekolah. Termasuk adanya ketentuan sekolah hanya boleh menjalankan pembelajaran tatap muka di daerah hijau. Ketentuan operasional pesantren tidak sama persis dengan regulasi sekolah tersebut.
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pesantren NU) Abdul Ghaffar Rozin menyatakan, seharusnya Kemenag mengumumkan protokol kesehatan untuk pesantren tidak terlalu lama dari rilis Kemendikbud. ’’Makin lama (diumumkan, Red), makin menimbulkan ketidakpastian,’’ katanya.
Dia menegaskan, seharusnya Kemenag segera mengambil keputusan. Pria yang akrab disapa Gus Rozin itu mengatakan, dalam kondisi seperti ini, Kemenag harus berani mengambil keputusan yang tidak populer. Bagi dia, saat ini bukan waktu yang tepat untuk main-main. Gus Rozin mengakui bahwa banyak pesantren yang sudah menerima santri kembali setelah libur Lebaran. Jumlahnya setiap hari terus bertambah.
Gus Rozin berharap Kemenag menawarkan konsep win-win solution. Baik dari pemerintah maupun pesantren. Menurut dia, kenormalan baru yang ditawarkan memang benar-benar didesain untuk pesantren. Kemudian, memperhatikan tradisi dan sistem pendidikan yang sudah berjalan selama ini. Dengan begitu, kebijakan yang keluar mampu menghindarkan pesantren dari bahaya Covid-19 sekaligus memperhatikan realitas di pesantren.
Dia menyatakan, Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) menghormati kebijakan pesantren yang sudah menerima kembali santrinya. Sebab, kebijakan tersebut memang sepenuhnya otoritas kiai atau pengasuh pesantren. Dia menjelaskan, RMI berharap protokol karantina dan pengembalian santri ke pesantren benar-benar dilaksanakan dengan konsisten.
RMI sebelumnya membuat masukan protokol kesehatan untuk pesantren (lihat grafis). Gus Rozin menyampaikan, pesantren yang sudah aktif kembali diharapkan memberikan pilihan kepada wali santri. Khususnya yang masih ragu untuk mengembalikan anak ke pesantren. ’’Perlu ada kelonggaran bagi santri untuk memilih belajar jarak jauh dari rumah,’’ kata dia.
Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menuturkan, sebaiknya santri tetap belajar dari rumah. Bagi dia, mencegah lebih baik ketimbang mengobati. ’’Dikhawatirkan pesantren jadi klaster baru,’’ tuturnya.
Namun, bagi pesantren yang memaksakan membuka kegiatan tatap muka, padahal tidak di zona hijau, harus bisa dipastikan santri yang masuk sudah menjalani tes dan negatif Covid-19. Demikian juga ustad dan seluruh staf pesantren lainnya. Selain itu, para santri, ustad, staf, dan warga pesantren lain dilarang keluar dari kompleks pondok. Orang luar juga dilarang masuk ke pesantren. Seluruh interaksi dan kegiatan di dalam pesantren harus selalu memperhatikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menyatakan, pemerintah tidak boleh mengabaikan pendidikan. Dalam segi penganggaran, pemerintah juga harus menyiapkan pendidikan yang cukup. Menurut dia, anggaran Rp 2,3 triliun untuk pendidikan pesantren jelas masih sangat kurang.
Apalagi, lanjut Jazil, anggaran Rp 2,3 triliun diperuntukkan pesantren dan lembaga keagamaan Islam lainnya. ’’Untuk pesantren saja tidak cukup, apalagi dipakai untuk lembaga lainnya, jelas tidak ada gunanya anggaran segitu,’’ papar wakil ketua umum DPP PKB itu.
Legislator asal dapil Jatim 10 tersebut mengatakan, tidak semua pembelajaran bisa berlangsung secara virtual. Apalagi pembelajaran di pesantren yang berlangsung 24 jam. Jadi, pembelajaran virtual jelas tidak efektif.
’’Apalagi, konsep pendidikan virtual juga tidak jelas,’’ papar Jazil. Sampai sekarang, belum ada yang bisa mengukur efektivitas pembelajaran daring.
Sumber: jawapos.com