Para Sahabat Nabi adalah orang-orang yang selalu bergegas mengejar kebaikan dan pahala. Ketika menyadari kehilangan peluang pahala, mereka segera memacu diri untuk meraihnya. Kisah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ini salah satu contohnya.
Suatu hari, ia mendengar sebuah hadits tentang pahala sholat jenazah yang sebelumnya belum pernah didengarnya.
مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ
“Barangsiapa yang turut keluar bersama jenazah dari rumahnya, menshalatkannya, lalu mengiringinya sampai dimakamkan, ia akan memperoleh pahala sebesar dua qirath, yang berat masing-masingnya adalah seperti Gunung Uhud. Dan barangsiapa yang hanya menshalatkannya, ia akan memperoleh pahala seberat Gunung Uhud.”
Adalah Khabab radhiyallahu ‘anhu yang menyampaikan hadits ini kepada Ibnu Umar. “Apa engkau tidak pernah mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah mensabdakan itu?”
Ibnu Umar jujur. Sebagaimana juga sahabat lainnya yang memegang teguh kejujuran. Ia memang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, tapi ia belum pernah mendengar hadits ini. Ini sesuatu yang baru baginya. Sementara isinya sungguh mengagumkan. Menshalatkan jenazah, pahalanya seberat Gunung Uhud. Jika ditambah dengan mengantarkannya ke pemakaman, pahalanya menjadi seberat dua Gunung Uhud.
Ibnu Umar percaya pada kejujuran Khabab dan kejujuran Abu Hurairah. Namun, ia ingin penguat. Barangkali ada salah redaksi atau kata yang kurang tepat. Dan waktu itu, yang paling mudah untuk ditemui adalah Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka disuruhnya Khabab untuk menghadap Bunda Aisyah menanyakan mengenai hadits itu.
“Menurut Aisyah, benar apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah tersebut,” Khabab melaporkan hasilnya kepada Ibnu Umar.
“Sungguh, selama ini kita telah mengabaikan pahala berqirath-qirath banyaknya,” kata Ibnu Umar.
Demikianlah Ibnu Umar dan para sahabat. Mereka merasa kehilangan besar ketika terlewatan pahala kebaikan meskipun itu tidak wajib. Karena sholat jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika sudah ada sekelompok kaum muslimin mengerjakannya, maka gugur kewajiban kaum muslimin lainnya.
Namun fokus Ibnu Umar adalah pahalanya. Sekali sholat jenazah pahalanya satu qirath. Ditambah mengantar ke pemakaman pahalanya dua qirath. Jika terlewatkan beberapa sholat jenazah, bukankah terlewatkan pahala berqirath-qirath? Apakah kita juga berpikir sampai sejauh ini?
Sumber: kisahikmah.com