Selamatkan Nasib Negeri dengan Perisai Literasi

shafiyyatul.com

Era globalisasi menuntut seseorang agar dapat beradaptasi di zaman yang semakin kompetitif. Untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut, masyarakat global diharapkan memiliki pendidikan berkualitas yang dikombinasikan dengan kemajuan teknologi, keterbaruan/kekinian. Jika, kemajuan teknologi dijadikan sebagai sarana dalam mencari informasi dan menambah wawasan, maka keterampilan  membaca, menulis, bahkan pemahaman teks tingkat tingkat tinggi pun kian diperoleh.  Namun, lain halnya dengan permasalahan yang terjadi saat ini, kemajuan teknologi justru diartikan bahkan diaplikasikan untuk hal-hal yang tidak berguna. Hal ini tampak dari maraknya penggunaan sosial media untuk selfie-selfie, melihat-lihat trend busana, memopulerkan artis-artis korea, bahkan sampai pada timbulnya polemik diantara masyarakat yang kian  membuat kita lupa akan pentingnya membaca dan menulis. Padahal, kita ketahui bersama bahwa wahyu  pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah surah Al-Alaq  yang diawali dengan kalimat pertama yang berbunyi Iq’ra yang artinya baca. Begitu jelas perintah itu, tapi kita sebagai masyarakat masih banyak mengabaikannya, sehingga berimbas pada rendahnya minat baca dan tulis di kalangan   masyarakat.

Rendahnya keterampilan tersebut, membuktikan bahwa proses pendidikan belum mengembangkan kompetensi dan minat siswa terhadap pengetahuan. Berdasarkan PIRLS 2011 Internasional Results and Reading , Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 Negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012) . Uji literasi membaca dalam PISA 2009  menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493).  Untuk   dapat meningkatkan minat baca, kita bisa menjadikan negara Finlandia sebagai motivasi untuk menuju pada suatu perubahan. The World’s Most Literate Nations (WMLN) merilis daftar panjang negara-negara dengan peringkat literasi di dunia. Penelitian ini dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain. Hasil dari penelitian ini menempatkan Finlandia sebagai negara paling literat atau terpelajar di dunia. Negara Indonesia  masih menduduki peringkat ke-61, satu kursi lebih tinggi dari Botswana.

Ada beberapa kebiasaan yang dilakukan  negara Finlandia yang bisa  kita jadikan contoh, yaitu: 1. Ada maternity package yang diberikan kepada orang tua yang baru memiliki bayi, termasuk di dalamnya buku-buku, 2.Perpustakaan ada di mana-mana, tidak ada alasan untuk tidak sempat membaca, 3. Sekolah baru dimulai pada usia tujuh tahun, budaya baca didorong turun-temurun, 4. Demi kedekatan dan pengetahuan, dongeng sebelum tidur jadi tradisi penting dalam keluarga, 5. Program TV yang berasal dari luar tidak dialihsuarakan, hanya diberi teks terjemahan.

Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa budaya literasi  negara Finlandia sudah dipupuk saat anak masih kecil. Harfiahnya, literasi merupakan kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Berdasarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, pemerintah  telah menyadari pentingnya penumbuhan karakter peserta didik melalui kebijakan membaca selama 15 menit sebelum dimulai pembelajaran. Sekolah bertindak  sebagai organisasi pembelajaran yang  menjadikan semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat, kini membuat suatu program yang diberi nama GLS (Gerakan Literasi Sekolah).  Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk menumbuhkan motivasi membaca dan menulis  dikalangan peserta didik. Mengurangi angka buta aksara, dan mendongkrak angka kemelekhurufan. Meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional,kemampuan berbahasa,  interaksi sosial, dan spiritual yang diiringi perkembangan teknologi, serta dapat melatih anak untuk dapat berpikir kritis melalui kegiatan membaca dan menulis, dan diteruskan dengan terciptanya suatu karya.

Gerakan literasi sudah lama digaung-gaungkan, tanggungjawab literasi tidak hanya merupakan beban pemerintah semata, tetapi menyangkut seluruh elemen masyarakat. Untuk dapat membangun suatu kebiasaan harus  dimulai dari unit terkecil di masyarakat yaitu keluarga. Berdasarkan hal tersebut, akan terciptalah generasi emas yang mampu berdayaguna serta mampu bersaing di zaman yang semakin kompetitif. Generasi yang mampu mengidentifikasi informasi, mengevaluasi informasi secara kritis, serta mampu berbahasa atau berkomunikasi secara efektif yang  nantinya sangat berguna sebagai senjata untuk  menghindari diri dari perpecahan antar umat, bangsa, dan negara.

Penulis

Eliya F.N.

Guru Bahasa Indonesia SMP YPSA

 REFERENSI

Kemendikbud. 2013. Permendikbud No.23 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar.

http://www.hipwee.com/feature/finlandia-peringkat-satu-dalam-jajaran-negara-literasi-di-dunia

OECD (2014). PISA 2012 Results in Focus. Programme for International Student Assessment , 1–44.  http://doi.org/10.1787/9789264208070-en

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

 

Bagikan ke Media Sosial

Artikel Lainnya

Scroll to Top