Anggaplah Hari ini Hari Terakhirmu

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya (ajal) mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya, (Q.S. Al-‘A`raf : 34).

YPSA.ID – Berapa lama lagi kita akan hidup? 10, 20, 30 atau sekedar satu tahun lagi dan bahkan lebih cepat? Saya yakin dan percaya tidak ada seorangpun yang mampu untuk menjawabnya. Jika mendengar ada sahabat atau saudara kita meninggal dunia karena sakit atau serangan jantung, bagaimana perasaan kita?

coba bayangkan, apakah orang yang mati itu pernah membayangkan sebelumnya bahwa ia akan mati pada saat kematiannya itu? Tentunya tidak saudaraku.

Jadi, bagi kita yang akan menyusul mereka meninggalkan dunia untuk selamanya juga tidak pula tahu saat kematian itu tiba ( sama seperti simayat sebelumnya), oleh karena itu seharusnya mengajar kita agar tidak menunda. Jangan sekali-kali menunda untuk berbuat baik, meminta maaf, memaafkan orang lain, beribadah kepada Allah SWT, dan melakukan keputusan-keputusan yang tepat.

Sementara waktu masih ada, usia masih bersisa, kesehatan masih kuat, kelapangan masih dapat dikendalikan, kekayaan masih dalam genggaman. Maka dari itu kelola waktu dengan sebaik-baiknya, gunakan usia muda sebelum tua, manfaatkan kesehatan sebelum sakit, gunakan lapang sebelum datang masa sempit, dan gunakan kekayaan seblum datang kemiskinan. Jadilah “si mati” yang telah beres segala kerjanya.

Bagaimana hendak mencapai rasa hati yang seperti itu? Mudah saja “ingat mati selalu” . ingatkan diri kita sendiri bahwa hari ini mungkin hari terakhir kita di dunia. Apabila bangun dari tidur katakan kepada diri:

“Wahai diri, Hari ini mungkin hari terakhir aku hidup di dunia ini. Oleh karena itu, aku tidak akan menangguhkan ucapan kasih sayangku kepada semua yang akrab denganku, aku tidak akan menangguhkan amal kebaikan yang telah lama aku rencanakan, aku tidak akan menunggu lagi untuk meminta maaf dan memberi maaf kepada semua orang yang aku bersalah dengannya atau mereka yang bersalah denganku”.

Alangkah leganya kita meninggalkan dunia yang fana ini tanpa beban kerja yang belum dikerjakan dan menghadap Allah SWT dengan ketenangan. Katika itu, tentulah orang yang kita tinggalkan akan merelakan kepergian kita tanpa ada rasa terbebani, istri atau suami yang ditingglakan pasti merasa sedih, namun mampu menghadapinya dengan sabar karena tidak ada lagi rasa beban yang tersimpan.

Segalanya sudah tuntas dan selesai. Ibu bapak akan terasa kehilangan, namun jauh disudut hati mereka ada rasa lega karena kita pergi sudah memiliki bekal yang cukup untuk menghadap sang Ilahi rabbi.

Mengingat mati itu sangat penting untuk menjalani kehidupan. Ia ibarat sebuah alat control yang menggerakkan amal bakti untuk bekal hidup sesudah mati. Hati yang ingat mati adalah hati yang mengetahui hakikat hidup. Hati yang ingat mati akan menggerakkan seluruh panca indra dan anggota tubuh lainnya untuk melakukan ketaatan dengan segera ( tanpa menunda).

Ia umpama “Deadline” (batas waktu) yang menjadi peringatan untuk menyiapkan sebuah pekerjaan, malah lebih daripada itu. Hakikat bahwa mati itu datang secara tiba-tiba adalah satu ketergesaan, yang merupakan sebuah dorongan paksa untuk melakukan ketataan.

Coba renungkan, jika seandainya benar sholat yang kita lakukan nanti adalah sholat yang terakhir, tentulah kita akan bersegera dan bersungguh-sungguh melakukannya dengan penuh rasa takut, penuh harapan, malu, cinta dan merasa hina menghadap Allah SWT.

Mana mungkin kita menunda-nunda sholat atau melaksanakannya sambil santai ( bergurau) jika kita meresakan itu sholat kita yang terakhir. Mungkin seorang pidana yang akan dihukum gantung sampai mati sajalah yang boleh menceritakan rasa hatinya ketika mengerjakan sholatnya yang terakhir!

Betapa sedihnya kita apabila kita tinggalkan isteri dalam keadaan marah-marah. Rupanya itulah kali terakhir kita melihat wajah dan mendengar suaranya.

Pasti ada rasa penyesalan, mengapa kemarahan, wajah yang masam dan kata-kata kasar yang kita “ hadiahkan” ketika pertemuan terakhir itu? Ya, hal ini pasti akan kita rasakan, namun penyesalan tak berarti lagi, kita tidak mungkin pulang lagi karena telah pergi dan takkan kembali.

Oleh: Ustaz Abdurrohim Harahap, S.Th.I.,M.Us. (Penulis buku Mencari Hidayah Tuhan)

Bagikan ke Media Sosial

Artikel Lainnya

Scroll to Top