YPSA.ID – di Era keterbukaan ini, banyak kita dapati orang yang mengumbar aib pasangannya di media sosial (medsos).
Dalam sebuah pernihahan, tidak dapat dinafikan akan berlakunya ketidaksefahaman antara kedua-dua pasangan walaupun pada hal-hal yang kecil.
Konflik ini kemudiannya akan menimbulkan rasa tidak senang bahkan boleh menyebabkan rasa tidak percaya antara satu sama lain.
Lebih buruk lagi apabila hal yang kecil itu diperbesarkan sehingga seseorang individu sanggup membuka dan menyebarkan rahasia dan keburukan pasangan yang bersifat peribadi.
Rasulullah ﷺ mencela orang yang membongkar rahasia dan aib pasangannya dengan mengatakan orang tersebut seburuk-buruk kedudukan di sisi Allah SWT
Firman Allah SWT:
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Surah al-Hujurat 12)
Menurut Ibnu Katsir, Allah SWT Melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari prasangka buruk, yakni menuduh sembarangan dan mengkhianati orang lain atau keluarga dekatnya. Perbuatan ini termasuk dosa besar karena jelas-jelas dilarang. Para ulama pun sepakat tentang haramnya menampakkan aib seseorang kecuali dengan kemaslahatan tertentu melalui jalur yang halal. [Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Ismail bin Umar, Tafsir Ibnu Katsir, Dar Toyyibah, 1999M, 7/377].
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau berkata bahwa Baginda Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِندَ الله مَنزِلَةً يَومَ القِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفضِي إِلَى المَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيه، ثُمَّ يَنشُرُ سِرَّهَا
Artinya: “Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki (suami) yang menggauli (bersetubuh) dengan isterinya, kemudian menyebarkan rahasia isterinya tersebut.” (Riwayat Muslim)
Berdasarkan keumuman hadits ini, maka Rasulullah ﷺ mencela orang yang membongkar rahasia pasangannya dengan mengatakan bahwa orang tersebut seburuk-buruk kedudukannya di sisi Allah SWT.
Terutama dalam masalah-masalah yang bersifat rahasia dan terjadi antara kedua mempelai, seperti masalah istimta’ (kesenangan antara suami istri). Maka dari itu, hal ini menunjukkan bahwa menampakkan aib pasangannya adalah suatu perbuatan yang diharamkan oleh hukum Islam, kecuali jika ada kebutuhan dan keinginan yang mendorong salah seorang di antara keduanya.
Hal ini sesuai dengan ajaran Rasulullah ﷺ untuk mengucapkan kata-kata yang baik atau diam jika tidak diperlukan. [dalam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ Turat al-Arabi, 10/8].
Larangan ini juga ditambah dengan ancaman di akhirat seperti mana yang diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ قَعَدَ عَلَى فِرَاشِ مُغِيبَةٍ قَيَّضَ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُعْبَانًا
Artinya: “Orang yang membuka aib pasangannya, Allah akan mengikatnya dengan ular besar pada hari kiamat nanti.” (Riwayat Ahmad).
Selain itu Nabi ﷺ juga bersabda yang diriwayatkan oleh Hudzaifah:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang mengumpat.”(Riwayat Muslim)
Allah SWT berfirman di dalam al-Quran:
هُنَّ لِبَاس لَّكُم وَأَنتُم لِبَاس لَّهُنَّۗ
Artinya: “Isteri-isteri kamu itu adalah sebagai pakaian bagi kamu dan kamu pula sebagai pakaian bagi mereka.” (QS: al-Baqarah 187)
Imam At-Thobari menjelaskan, setiap pasangan suami istri ibarat tempat kediaman yang saling memberikan ketentraman dan kedamaian.
Mereka juga seperti selimut atau kain yang menutupi tempat mereka seharusnya menyembunyikan semua masalah pribadi pasangan dari orang luar. Bila salah satu pasangan terlalu mudah mengungkap aib pasangannya, maka sama saja mereka membiarkan diri mereka sendiri tanpa sehelai benang pun atau sesuatu yang dapat menutupinya.
At-Thobari juga ketika menjelaskan makna ayat al-Quran dalam Surah al-Baqarah (229) berkaitan apa yang dimaksudkan dengan “menceraikan (isteri) dengan cara yang baik” ialah setiap pasangan yang sudah bercerai seharusnya tidak berlaku dzalim di antara satu sama lain dan mereka perlulah menunaikan hak masing-masing.
Mereka juga dilarang untuk menyakiti atau menghina bekas pasangan dalam apa jua cara sekalipun sama ada menerusi perkataan atau perbuatan. [Abu Jaafar Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Takwil al-Quran, Makkah: Dar al-Tarbiyyah wa al-Turath, 3/491.].
Selain itu, al-Maraghi menyatakan dalam tafsirnya terhadap makna “menceraikan dengan cara yang baik” bahwa sewajarnya si suami tidak menceritakan keburukan dan kehormatan diri bekas isterinya kepada orang lain sehingga orang lain menjauhinya, jika si isteri ingin menikah lagi lelaki lain. Sikap menceritakan keburukan bekas isteri merupakan satu kesalahan besar dalam ikatan yang pernah berlaku di antara mereka berdua. [Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1325H – 1946M, 2/171].
Membuka Aib yang yang Diperbolehkan Syariat
Islam membela hak-hak manusia yang tertindas dan menentang segala bentuk penindasan di muka bumi.
Meski begitu, Islam tetap menetapkan batasan dan jalur yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Sebab, menyebarkan berita atau kesalahan individu kepada khalayak ramai atau melalui jalur yang salah juga termasuk dalam perbuatan dzalim.
Aisyah RA meriwayat dalam sebuah hadis, kata beliau:
قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ خُذِي أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ.
Artinya: “Pernah suatu ketika Hindun Umm Mu’awiyyah mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa suaminya, yang bernama Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir, maka apakah ia boleh mengambil harta suaminya secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah ﷺ pun menjawab, ‘Silahkan ambil untukmu dan anak-anakmu secukupnya dengan cara yang baik!’” (Riwayat Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa perbuatan menceritakan aib pasangan bagi tujuan penyelesaian terhadap kedzaliman adalah harus. Menurut Imam al-Nawawi, terdapat enam sebab dibenarkan untuk membuka aib seseorang [dalam Mahyuddin bin Syaraf al-Nawawi, Riyadhus-Sholihin, Beirut: Dar Ibn Katsir, cetakan 1, 1428H – 2007M, 4259]:
1. Mengadukan adanya ketidakadilan kepada pihak yang mempunyai kewenangan atau kemampuan untuk berlaku adil kepadanya dari orang yang berlaku tidak adil kepadanya.
2. Mencari pertolongan kepada orang tertentu yang mampu mengubah keburukan dan membawa pelaku dosa ke jalan kebenaran.
3. Meminta fatwa kepada mufti.
4. Memperingatkan seseorang terhadap kejahatan dengan menasihati dan memberi tahu mereka tentang kualitas buruk seseorang yang tidak boleh mereka ikuti.
5. Menyebutkan dan membeberkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi, dilarang memperlihatkan aib beserta dosa-dosa lainnya yang tidak dilakukan secara terang-terangan, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu sebagaimana disebutkan di atas.
6. Memanggil seseorang dengan nama yang buruk karena itulah satu-satunya nama yang dikenalnya. Jika seruan itu digunakan untuk merendahkan atau mengejek, maka hukumnya haram.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Hindun ini menegaskan pentingnya bagi suami istri untuk menghindari kecenderungan terbuka mengenai masalah pernikahannya, apalagi dengan melibatkan media sosial guna merusak citra pasangannya.
Pendekatan Hindun untuk mencari nasihat dari Nabi Muhammad ﷺ adalah tindakan terbaik dalam menemukan solusi karena ia memiliki kepribadian yang sangat terpuji, dapat dipercaya, dan peduli terhadap martabat orang lain.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mencari nasihat dari sumber yang tepercaya dan berintegritas dalam menyelesaikan konflik rumah tangga.
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang menganjurkan umatnya untuk mempererat persahabatan dan menjaga hubungan antar manusia.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang menjurus kepada pertikaian dan perpecahan tidak disukai dan dilarang oleh hukum Islam.
Mengungkap aib pasangan merupakan larangan yang besar, karena pengaruhnya terhadap keutuhan institusi rumah tangga yang semestinya menjadi tempat lahir dan dibesarkannya manusia yang menjadi khalifah Allah SWT di muka bumi.
Larangan untuk memperlihatkan rasa malu ini tidak terbatas pada pasangan suami istri saja, tetapi juga kepada anggota keluarga, teman atau kenalan, dan bahkan kepada media atau wartawan. Namun ada pengecualian dalam kasus tertentu melalui saluran yang berwenang.
*